Pages

Review Novel The Mocha Eyes By Aida M.A


                                     Judul                        :  The Mocha Eyes

                                     Penulis                     :  Aida M.A

                                     Penyunting               :  Laurensia Nita

                                     Perancang sampul    :  Bara Umar Birru

                                     Pemeriksa aksara    :  Titis A.K., Mia F. Kusuma

                                     Penata aksara          :  BASBAK_Binangkit

                                     Penerbit                   :  Penerbit Bentang (Bentang Pustaka)

                                     Terbit                      :  Mei 2013 (Cetakan pertama)

                                     Tebal                       :  x + 250 hlm

                                     ISBN                      :  978-602-7888-32-6


Komposisi : Cinta, Kejujuran, Kelembutan, Perubahan, dan Moka.
Cara penyajian : Tuangkan kejujuran, kelembutan, perubahan, dan moka ke dalam cangkir. Tambahkan 180 cc air cinta, aduk, dan sajikan.

Kehadiranmu menjadi hal yang paling kutunggu.
Kusesap kelembutanmu dengan senyuman, 
menafikan sendikit pahit karena ternyata terasa manis.
Kamu dan aku seperti dua hal yang terlihat senada,
tetapi  berbeda.
Karena aku justru menemukanmu dalam sepotong cinta.

Ya, menunggumu bersatu denganku,
seperti mencari rasa cokelat dalam secangkir mochaccino
karena aku tak akan merasakan manis
dalam setiap hal yang tergesa-gesa,
kecuali semuanya tiba-tiba menghilang ....

  ***
 "Ada sesutu yang berada di luar kontrolmu, jadi jangan terlalu menaruh sebuah harapan terlalu tinggi. Apalagi ketika tidak sesuai dengan harapan, kamu akan setengah mati belajar untuk tetap waras." - hlm. 23
Muara. Gadis ceria yang mendadak menjadi manusia yang paling anti dengan dunia luar. Ia membenci keramaian, hujan dan pria. Ia tidak ingin lagi mempercayai siapa pun saat kejadian itu memaksa dirinya untuk merasa bersalah atas meninggalnya ayahnya. Menderita insomnia akut, pecandu rokok dan kopi hitam, itulah Muara.

Fariz. Seorang trainer dan terapis yang cukup populer di kalangan wanita. Tampangnya bisa memikat puluhan wanita sekaligus. Pernah gagal menikah membuat pria ini begitu memaknai setiap arus kehidupannya. Ia selalu percaya bahwa ada orang lain di dunia sana yang mengalami lebih buruk dari yang ia alami. Hingga sosok itu selalu muncul di dalam setiap mimpinya. Sosok perempuan yang dipandangi punggungnya oleh Fariz. Perempuan itu tidak pernah berbalik menatap Fariz.
"Baiklah, kala aku tidak bisa melupakannya berarti aku harus mulai mendekatinya." hlm. 114

***

Fariz dan Muara di pertemukan dalam suatu event untuk para crew. Pertemuan mereka cukup sederhana, Fariz melihat Muara sedang duduk di salah satu bangku sambil menghisap sebatang rokok yang persisi seperti kembaran jari tengahnya. Fariz mulai penasaran dengan sosok yang memperlihatkan ketidak terariannya. pria itu mulai meyainkan diri jika gadis itu akan ia perjuangkan.

Di sisi lain, Muara selalu saja terbelenggu dengan kenangan masa lalunya yang begitu menyakitkan. Kehilangan ayahnya adalah klimaks dari segala kesakitan yang pernah ia rasakan di masa lalu. Muara seringkali menyalahkan dirinya sendiri atas kepergian sang ayah. Lalu akankah Muara kembali menemukan cahaya mentari yang selama ini di hindarinya? Akankah ia mulai berusaha membuka diri untuk hati yang baru? Lalu bagaimana dengan kenyataan bahwa orang yang ia percayai justru membohonginya?
"Apa yang harus kita pikul pasti dapat kita pikul. Itulah hukum kehidupan spiritual. Satu-satunya hal yang menghambat hukum ini, seperti halnya hukum yang bersifat baik lainnya, adalah rasa takut." hlm. 212

***
Well, lagi-lagi aku di kejutkan dengan novel yang satu ini dan dari salah satu penulis favoritku. Kenyataan bahwa aku membaca novel ini kurang dari 5 jam benar-benar membuat kepalaku pusing saat mengetahui kenyataan-kenyataan yang terselip. Cara mbak Aida dalam mengolah cerita benar-benar seperti mencari rasa manis dari cokelat di antara rasa kopi yang pahit. Kejutan demi kejutan dihadirkan dan seakan tidak ada habis-habisnya.
"Apakah kita bertemu karena sebuah kebetulan?" hlm. 229

Konfliknya dimulai dari kenyataan pahit yang harus di alami oleh Muara yang membuatnya menjadi introvert. Ia yang harusnya melanjutkan pendidikannya mendadak menjadi seorang penyendiri karena kepahitan hiduo yang harus ia alami. Di susul oleh kepergian sang Ayah yang tidak terduga. Sosok Damar, Genta dan Meisya juga menambah keseruan novel ini.

I give 4 star untuk rasa manis dari cokelat di dalam secangkir kopi pahitnya.




2 komentar:

Ila Rizky mengatakan...

wow 4 bintang ya? aku belum baca yang ini, pernah baca yang sunset weh island aja :D jadi penasaran

Unknown mengatakan...

Iya..., ini bukan cuma cerita romansa yang membosankan. Ini cerita yang dibalut dengan rasa trauma dan keengganan membuka diri dengan dunia luar.

Posting Komentar